Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Sang Penasehat Ulung


Tafsir Al-Aisar

Yogyakarta, Juni 2007 M. Awal tahun ajaran baru ini saya mengajak bapak saya mencari beberapa buku penting di Shopping, Taman Pintar. Salah satu buku yang ingin saya beli adalah kitab Minhaj Al-Muslim, kitab akhlaq, ‘aqidah, ibadah, dan mu’amalat yang cukup padat pembahasaannya yang ditulis oleh Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi –athalallah ‘umrah-. Alasan kenapa saya mencari kitab ini karena memang kitab ini banyak dikaji di pesantren saya.

Saya pun mulai berkeliling bersama bapak menelusuri lorong di antara kios-kios sembari mencari-cari beberapa buku. Sebagaimana kebiasaan pedagang pada umumnya, di sini pun para pedagang berlomba-lomba menawarkan barang dagangannya dan menanyakan apa yang dicari calon pembeli.

“Cari apa, mas?,” tanya salah seorang penjaga kios buku kepada kami.

“Ada Minhajul Muslim, pak?,” sahutku padanya.

“Ada, mas.”

“Yang bahasa Arab, pak?”

“Wah, nggak ada, mas. Cuma terjemahan bahasa Indonesia.”

Ternyata hanya ada edisi terjemahan. Versi ‘Arabnya tidak ada. Karena ternyata di kemudian hari saya baru tahu kalau di kios-kios ini tidak menjual buku-buku asli, hanya edisi terjemahan saja. Dan saya juga baru tahu jika ingin mencari buku-buku ‘kuning’, bisa mengunjungi TB Kauman, Toko Ihya’, TB Sarana Hidayah, dan TB Beirut.

Tiba-tiba ada salah satu penjaga kios yang mendengar percakapan saya dengan pembeli tadi nyeletuk sambil ketawa bilang, “Diterjemahkan ke bahasa Arab sendiri, mas!”

Wuaduh!!! Segitunya.

Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi.

Penulis buku Minhaj Al-Muslim ini begitu sangat akrab ditelinga. Tulisan-tulisannya banyak diterjemahkan ke berbagai bahasa manusia di muka bumi. Di Indonesia saja, buku Minhaj Al-Muslim ini telah diterjemahkan sedari lama oleh banyak penerjemahkan dan dicetak dalam sekala besar. Umumnya sudah mengalami cetak ulang dan bahkan mencapai bets saller. Ini baru satu karyanya, belum lagi karya-karyanya yang lain yang juga sangat bermanfaat. Hal ini menjadi tanda ikhlasnya sang penulis dan keilmuannya yang mumpuni sehingga tidak hanya bisa menyusun buku tapi juga mampu memilih metode penulisan sehingga mudah difahami oleh tidak hanya kalangan terpelajar, namun juga kalangan umum pun tidak perlu berletih memahami tulisan-tulisannya.

Suatu saat ada salah seorang murid ngaji Imam Malik bin Anas, penulis kitab Al-Muwaththa’, melaporkan bahwa si A juga menyusun kitab dengan judul yang sama dengan kitab beliau yang begitu terkenal dan banyak dipelajari banyak kalangan, yaitu  Al-Muwaththa’. Mendengar laporan santrinya itu, beliau pun menimpalinya dengan santai, “Sesuatu yang diperuntukkan Allah, bakal abadi.” Dan benar saja. Ternyata setelah barlalunya waktu, hanya ada satu kitab Al-Muwaththa’ yang dikenal luas masyarakat, yaitu Al-Muwaththa’ yang ditulis oleh Imam Malik bin Anas Al-Ashbahi –rahimahullah– padahal kitab dengan judul yang sama terhitung banyak.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin –rahimahullah– ketika menjabarkan sebuah kitab yang dikenal secara luas sejak ditulisnya hingga detik ini bertajuk Riyadh Ash-Shalihin min Kalam Sayyid Al-Mursalin susunan Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi –rahimahullah-, mengatakan bahwa hal ini menjadi tanda keikhlasan penulisnya sehingga hampir tidak ada rumah seorang muslim pun di seluruh belahan dunia kecuali menyimpan kitab ini.

Nampaknya keikhlasan dalam menulis kitab juga terjadi pada Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi –dan saya tidak mensucikan seorang pun di sisi Allah- melihat buku-bukunya yang banyak diminati secara luas oleh banyak kalangan sebagaimana di atas. Sebelum ini saya juga telah menyinggung kisah awal kalinya saya ‘bertemu’ dan mengenal ulama kenamaan ini sehingga membuat saya begitu takjub kepada beliau seiring doa, semoga Allah Jalla wa ‘Ala memanjangkan dan memberkahi umur beliau.

Dalam pada itu, saya akan meriwayatkan seklumit perjalanan ilmiah beliau.

Awal mula saya mempelajari buku ini, saya hanya tahu bahwa beliau adalah salah seorang penasehat dan guru di Masjid Nabawi. Selebihnya, saya tidak tahu. Tentu saja hal itu tidak membuat jiwa ini puas. Rasanya kurang adil jika seseorang yang mempelajari suatu kitab dan banyak mengambil faedah dan manfaat darinya tidak mengenal penulisnya denganbaik. Demikian lah yang saya rasakan. Sehingga saya berusaha menelusuri berbagai litelatur yang kemungkinan merekam perjalanan hidup beliau. Tidak hanya itu, saya pun tidak tertinggal menelusuri dan bertanya kepada ‘Syaikh’ Google. Berangsur-angsur saya mulai bisa menyingkap perjalanan hidup Syaikh Abu Bakar. Salah satunya saya jumpai di buku ‘Ulama Mufakkirun ‘Araftuhum di jilid pertama halam ke-27 hingga ke-39 buah karya Al-Ustadz Muhammad Al-Majdzub –semoga Allah membalasnya kebaikan-.

Buku yang juga memuat salah seorang pejuang kemerdekaan Indonesa ini, ‘Abdurrahman Baswedan atau yang lebih akrab disapa AR Baswedan –rahimahullah-, juga menjadi salah satu rujukan biografi ualama kontemporer semacam Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Al-Jikani Asy-Syinqithi, Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim, Syaikh ‘Abdurrahman Al-Ifriqi, dan banyak lainnya. Menariknya buku ini ditulis dengan gaya bahasa Adab yang memukau dan kebanyakan diriwayatkan secara langsung oleh penulisnya.

Dalam kesempatan ini saya juga ingin mengutarakan usulan saya kepada siapa pun yang mengajarkan suatu buku untuk mengawalinya dengan menyebutkan biografi penulis buku meski secara ringkas. Sehingga dengan demikian, sang pengajar telah menunaikan kewajibannya denga lebih sepurna dan sebagai penyempurna faidah yang disampaikannya. Hal semacam ini pula lah yang ditempuh oleh para ulama dari masa silam hingga detik ini dan akan terus berjalan, in sya Allah. Lihat saja, misalnya, buku-buku komentar (baca syarah). Sebelum mengomentari suatu kitab, pengomentar (baca : pensyarah) biasanya memulai dengan membawakan biografi penulis kitab yang dikomentarinya. Misal lain juga dilakukan para editor (baca : muhaqqiq) suatu buku, biasanya mendahului dengan penuliskan biografi si empunya buku. Jika saudara pernah menyimak pelajaran Syaikh Shalih Al-‘Ushaimi, saudara bakal menjumpai beliau selalu mendahuli pelajarannya dengan beberapa muqaddimah, salah satunya adalah biografi penulis kitab yang tengah dipelajari.

Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi. Kun-yahnya lebih akrab ditelinga ketimbang nama aslinya, apalagi nama bapaknya. Oleh tenar dengan sapaan Abu Bakar Al-Jazairi. Ketika sudah disebutkan nama seperti itu, orang yang mendengar langsung memahami bahwa yang dimaksud adalah seorang ulama yang mencurahkan waktunya untuk mengajar di Masjid Nabawi. Padahal nama lengkap beliau adalah Abu Bakar Jabir bin Musa bin ‘Abdul Qadir bin Jabir Al-Jazairi.

Syaikh Abu Bakar dilahirkan pada tahun 1921 M di sebuah distrik yang terletak 40 km dari Bukrah. Kedua orangtuanya berbangsa Jazair yang berasal dari dua keluarga yang terkenal komitmen dengan keshalihan dan banyak mengahafal Al-Quran Al-Karim. Hal itu pun selalu diwariskan dan dijadikan sebagai semacam adat di tengah-tengah mereka. Akan tetapi bapaknya, Pak Musa bin ‘Abdul Qadir, menyendiri menekuni tasawwuf.

Jabir kecil hidup dalam keadaan yatim karena sang bapak wafat saat usianya baru menginjak tahun pertama. Oleh karena itu ia diasuh oleh sang ibu dengan jaminan dari paman-pamannya dari pihak bapak dan ibunya.

Ia mulai perjalanan belajarnya di desanya. Keberhasilannya dalam menghafalkan Al-Quran Al-Karim dijadikannya sebagai bekal ilmu ditambah dengan hafalan Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyyah dalam ilmu gramatika bahasa Arab (baca : nahwu) dan Manzhumah Ibnu ‘Asyir dalam fiqih ala madzhab Maliki. Dari ini, ia pindah ke Bukrah dan ngaji kepada salah seorang ulamanya, Syaikh Nu’aem An-Nu’aemi. Di saat itu ternyata desanya kedatangan seorang ulama kenamaan bernama Syaikh ‘Isa Ma’thuqi. Hal itu menjadikannya kembali ke kampung halamannya untuk kemudian mengaji bahasa Arab, fiqih, manthiq, mushthalah hadits, dan ushul fiqih kepada ulama tersebut. Di saat itu ia sudah menginjak usia remaja.

Dalam pada itu, Jabir melawat ke ibu kota untuk mengajar di salah satau sekolah suwasta. Di sinilah ia memulai kehidupan barunya. Di tengah kesibukannya mengajar, ia juga melanjutkan belajarnya kepada Syaikh Ath-Thayyib Al-‘Uqbi, salah satu rekan pejuang besar, Al-‘Allamah Ibnu Badis. Kepadanya, ia menekuni pengajian-pengajiannya dalam beberapa tahun. Hal ini menjadi suatu pengaruh besar dalam kepribadian Jabir, sebab Syaikh Al-‘Uqbi ini terhitung sebagai salah satu guru besarnya dan pembimbingnya terbesar kepada jalan Islam yang benar.

Selanjunta Jabir memutuskan melawat ke Hijaz. Di sini ia kembali memulai kegiatannya, yaitu belajar dan mengajar. Di Madinah ia menekuni beberapa pengajian ulama, di antaranya Syaikh ‘Umar Birri, Syaikh Muhammad Al-Hafizh, Syaikh Muhammad al-Khayal, dan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Shalih, ketua para hakim kota Madinah dan khathib Masjid Nabawi.

Selang satu tahun kemudian, Jabir memperoleh izin mengajar di Masjid Nabawi dari komite kehakiman Makkah Al-Mukarramah. Hal semacam ini beliau tekuni hingga ditulisnya tulisan ini. Di saat itu beliau mendaftar diri ke fakultas syari’ah di Riyadh dan berhasil memperoleh gelar “Lc”. Sejak itulah beliau mencurahkan waktu dan tenaganya mengajar di Masjid Nabawi, masjid yang didatangi dan dirindukan oleh ribuan kaum muslimin dari penjuru dunia, seperti halnya penulis tulisan ini.

Kehidupan Syaikh Abu Bakar Jabir bin Musa bin ‘Abdul Qadir al-Jazairi yang penuh dengan nilai pendidikan dan dakwah sebagaimana telah diketahui di atas, tentu tidak mungkin bisa lepas dari kegiatan tulis-menulis. Melihat hal ini, maka tidak perlu heran sekiranya karya-karya ilmiahnya begitu banyak.

Memang kegiatan tulis-menulis tidak bisa dipisahkan dari dunia belajar-mengajar. Ini pun menjadi sebuah tradisi di tengah para ulama di seantero jagad raya ini. Bahkan di kondisi tertentu menjadi sebuah kewajiban. Boleh jadi menulis faidah-faidah yang didengarnya dari gurunya waktu masing ngaji, mencatat hal-hal penting yang diperolehnya dari buku-buku yang ditelaahnya, menuliskan diktat untuk para santrinya, menulis bantahan untuk suatu pemikiran tertentu, atau alasan-alasan lainnya. Di kemudian hari tulisan-tulisan itu ada sebagiannya dicetak dan diterbitkan sehingga bisa dilahap oleh banyak orang.

Misal kongkrit untuk kasus ini adalah Al-Fawaid oleh Ibnul Qayyim yang awalnya ‘hanya’ sebuah catatan faidah ‘direkamnya’ dalam buku catatannya, At-Ta’liqat Ar-Radhiyyah karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani yang pada awalnya merupakan catatan-catatan yang beliau tuliskan di pinggir kitab yang di kemudian Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabi mengusulkan untuk dinaikkan ke percetakan agar bisa dinikmati oleh banyak kalangan, Al-Istidzkar fi Taqyid Ma La Budda min Thal’ah Al-Anwar yang pada asalnya sebuah diktat yang disusun oleh Syaikh Muhammad Muhadjirin bin Amsar Ad-Dari untuk para muridnya, dan masih banyak lagi lainnya.

Demikian pula dengan Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi –semoga Allah menjaganya-. Beliau pun memiliki beberapa buku diktat yang disusunya saat mengajar di Jazair, yaitu sebuah risalah dalam fiqih Maliki bertajuk Adh-Dharuriyat Al-Fiqhiyyah dan Ad-Durus Al-Jughrafiyyah.

Syaikh Abu Bakar pernah mengisyaratkan beberapa karya-karya ilmiahnya dalam ukuran-ukuran kecul yang lazim disebut “Rasail Al-Jazairi”, di antaranya Rislah Laa Ilaaha Illallaah, Ash-Shiyam, Al-Hajj Al-Mabrur, Al-Akhlaq, dan Ad-Dustur Al-Islami. Buku-buku ini telah dicetak dalam satau jilid.

Ada pula karangan-karangannya yang dicetak tersendiri, semacam:

  • Kaifa Yatathahhar Al-Mu’min wa Yushalli
  • Ittaqullah fi Hadzih Al-Ummah
  • Ilal Al-Fatah As-Su’udiyyah
  • Haula Al-Yahudi
  • Nashihati Ila Kulli Akhkh Syi’i
  • Al-Qadha’ wa Al-Qadar
  • Ad-Daulah Al-Islamiyyah
  • Kamal Al-Ummah fi Shalah ‘Aqidatiha
  • Al-Mar’ah Al-Muslimah
  • Haula Hum Al-Yahud
  • Al-Hajj Al-Mabrur
  • Al-Masjid wa Bait Al-Muslim
  • Al-Inshaf fima Qila ‘an Al-Maulid min Al-Ghuluw wa Al-Ijhaf
  • Hadzihi Nashihati ila Kulli Syi’i
  • Al-Jannah Dar Al-Abrar wa Ath-Thariq Al-Mushil Ilaiha

Di samping itu, ada beberapa kitab fenumental yang sudah akrab di masyarakat muslim, yaitu:

  • Minhaj Al-Muslim. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas.
  • Aisar At-Tafasir li Kalam Al-‘Aliyy Al-Kabir dalam 5 jilid besar. Kitab tafsir ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Darussunnah Jakarta dalam 8 jilid.
  • ‘Aqidah Al-Mukmin
  • Hadza Al-Habib –shallallahu ‘alaihi wa sallam- Ya Muhibb. Buku ini telah diterjemahkan pula dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Daar Ibn Katsir.

Hingga saat ini, Syaikh masih dapat kita jumpai belau mengajar di Masjid Nabawi meski sudah berusia lanjut. Beliau tidak henti-hentinya mencurahkan perhatiannya untuk kaum Muslim di seluruh belahan dunia. Bahkan di masa kuatnya beliau sering berkunjung je berbagai negeri untuk menyeru manusia ke jalan tauhid Allah ‘Azza wa Jalla. Dakwah tauhid beliau ini saat ini masih bisa kita rasakan jika kita membaca tafsir beliau di atas. Suasana dakwah tauhid begitu sangat mencolok dan terasa.

Walaupun beliau merupakan ulama besar yang dicintai seluruh kaum Muslim, namun bukan berarti tidak ada yang membencinya. Kebencian segelintir orang ini tidak lantas menafikan pernyataan saya bahwa beliau dicintai seluruh kaum Muslim. Pasalnya, orang yang membenci sosok Syaikh hanyalah orang hasan lagi dengki yang nyeleneh. Antara lain mereka melancarkan aksinya dengan menyebarkab berita ke berbagai kalangan bahwa Syaikh telah wafat. Subhanallah. Padahal, Syaikh masih terlihat sehat dan masih terus melaksanakan tugasnya selaku pemateri rutin di Masjid Rasulullah ﷺ.

Akhirnya, semoga Allah Jalla wa ‘Ala berkenan memperpanjang dan memberkahi umur beliau dan menjadikan ilmu beliau bermanfaat untuk segenap kaum muslimin…

 

Firman Hidayat Marwadi

Tinggalkan komentar