Keesaan Allah dan Kesempuraan-Nya, Tafsir Surat Al-Ikhlas


سوره-الاخلاص

  • Pendahulaun

Surat Al-Ikhlas tergolong sebagai surat Makkiyyah karena diturunkan sebelum hijrah Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– ke Madinah. Surat ini terdiri dari empat ayat, lima belas kalimat, dan empat puluh tujuh huruf. Kandungannya menjelaskan akan keadaan Allah yang Mahaesa, yang berhak diibadahi, tidak layak disekutukan. Maka pada intinya sebagai penetapan tauhid dan peniadaan syirik. Sebagaimana pula ada bantahan terhadap keyakinan Yahudi, Nasrani, dan kaum musyrik.

  • Terjemah Tafsiriyyah

“Katakanlah Muhammad, Dia Allah yang Mahaesa, Allah yang selalu dituju, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada apa pun yang sepadan sepadan dengan-Nya.”

  • Keutamaan Surat

Surat Al-Ikhlas setara dengan sepertiga Al-Quran mengingat sabda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya surat tersebut setara dengan sepertiga Al-Quran.” [HR Al-Bukhari]

Para ulama ada yang menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan hadits di atas ialah bahwa Al-Ikhlas itu jika diabaca akan diperoleh sepertiga pahala membaca sepertiga Al-Quran tanpa menyertakannya. Hal tersebut tidak berarti bahwa Al-Ikhlas dapat mengganti kedudukan sepertiga Al-Quran. Ada pula ulama yang mengatakan lainnya namun pendapat di yang di sini nampaknya lebih tepat.

Orang yang mencintai Al-Ikhlas akan dijanjikan masuk surga. Dalam Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Ibunda ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, bahwasannya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengutus seseorang memimpin sebuah pasukan. Dalam shalat, ia biasa mengakhiri bacaan dengan “قل هو الله أحد”. Maka tatkala mereka kembali, mereka menceritakannya pada baginda Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-. “Tanyakan padanya, apa motifasinya melakukan hal tersebut,” pinta beliau. Para shahabat pun menanyai orang tadi dan ia memberikan jawaban, “Sebab padanya terdapat sifat bagi Ar-Rahman. Makanya aku suka membacanya.” Setelah jawaban orang itu disampaikan pada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, belau lantas bersabda, “Berilah ia kabar, bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mencintainya.”

Surat Al-Ikhlas ini biasa dibaca Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pada rakaat kedua shalat sunnah shubuh [HR Muslim], sunnah maghrib [At-Tirmidzi], dan dua rakaat thawaf [HR Muslim], dan witir [HR At-Tirmidzi].

  • Sebab Turunnya Surat

Diriwayatkan bahwa beberapa orang musyrik bertanya kepada baginda Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Muhammad, berikan kami sifat Rabb-mu!” Maka Allah pun menurunkan surat ini.

[HR Imam Ahmad dalam Al-Musnad dan At-Tirmidzi]

  • Tafsir Kalimat

“الله”: Ini merupakan nama Tuhan yang paling agung, sebagaimana pendapat Ath-Thahawi, Ibnul Qayyim, dan lainnya berdasarkan hadits yang ketengahkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dari ‘Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, bahwasannya Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mendengar seseorang berdoa,

اللهم إني أسألك أني أشهد أنك أنت الله لا إله إلا أنت الأحد الصمد الذي لم يلد و لم يولد، و لم يكن له كفوا أحد

“Ya Allah, sesungguhnya aku bersaksi bahwa Engkau Allah tiada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Engkau, Mahaesa, Dzat yang dimintai memenuhi segala hajat, tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan, dan tidak ada satu pun yang sepadan dengan-Nya.”

Maka baginda Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– pun berkomentar, “Sejatinya engkau telah memohon kepada Allah dengan nama yang paling agung yang jika Dia dimintai sesuatu dengannga akan diberi dan jika berdoa dengannya akan dikabulkan.”

Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh ia telah memohon kepada Allah dengan nama yang paling agung yang jika berdoa dengannya akan diijabahi dan jika dimohonkan dengannya akan diberi.”

Catatan: Sebagian orang berdzikir hanya dengan lafal “Allah” saja tanpa ada yang menggandengnya. Mereka terbiasa menjadikan lafal itu sebagai wirid yang dibaca dalam jumlah yang banyak, seperti seribu, dua ribu, dan sebagainya. Dzikir tersebut biasa dikerjakan di halqah-halqah dengan suara yang tingga hingga pada titik tertentu yang terdengar hanya ucapan “huw”. Praktek semacam ini tidak benar karena Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidak pernah mengajarkan demikian. Dalam dzikirnya, beliau selalu menggandengkan lafal “Allah” dengan nama-Nya yang lain, misalnya dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim, “Siapa yang mengucapkan, ‘سبحان الله و بحمده’ sehari selama seratus kali, niscaya seluruh kesalahannya agan berguguran meskipun sebanyak buih lautan.”

“الصمد”: Salah satu nama Allah yang maknanya ialah Dzat yang sempurna pada semua sifatnya yang semua makhluk butuh kepada-Nya atau dengan ungkapan Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan oleh Adh-Dhahhak, semua makhluk menuju pada-Nya untuk memenuhu segala kebutuhan, dalam lapang maupun sempit.

  • Tafsir Surat

Sebagaimana diterangkan di atas bahwa ayat ini turun sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang musyrik tentang sifat Allah Ta’ala. Pertanyaan ini pun langsung Allah jawab sendiri dengan jawaban yang ringkas namun mengandung makna yang mendalam.

Di sini Allah menyuruh baginda Nabi Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengatakan kepada orang-orang yang bertanya tentang Dzat yang disembahnya dan orang-orang yang bersamanya, bahwa Dialah Dzat yang Maha Tunggal dalam keagungan dan kebesaran-Nya. Tidak ada yang menyamai-Nya sama sekali apa lagi mengungguli-Nya. Dia diesakan dalam sesembahan, tidak ada sekutu bagi-Nya. Seluruh makhluk, besar maupun kecil, yang di langit maupun yang di bumi, sangat butuh kepada-Nya, sedangkan Dia sama sekali tidak membutuhkan mereka. Dan yang mampu memenuhi segala kebutuhan mereka hanyalah Allah semata, tidak ada yang lain. Sebab dialah satu-satunya Dzat yang sempurna, sedangkan yang lain-Nya banyak kekurangannya.

Allah berfirman, “Kemudian apabila kamu tertimpa kemudharatan, maka hanya kepada-Nya jualah kamu memohon pertolongan.” [QS: 16: 53]

“لم يلد” Dia tidak beranak. Artinya tidak aka nada anak yang bersumber dari-Nya lantaran tidak ada satu pun yang sejenis dengan-Nya. Dalam ayat ini, Allah seakan-akan hendak membatalkan keyakinan Yahudi bahwa ‘Uzair adalah putera Allah, Nasrani yang meyakini bahwa ‘Isa adalah putera Allah, dan kaum musyrik yang meyakini Malaikat adalah puteri-puteri Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah berfirman, “Mereka mengatakan bahwa, ‘Ar-Rahman mempunyai anak.’ Sungguh kamu telah mendatangkan seustau yang mungkar! Hampir-hampir langit pecah, bum-bumi berbelah, dan gunung-gunung gugur roboh karenanya. Oleh karena itu mereka mengatakan Ar-Rahman mempunyai anak. Padahal Ar-Rahman tidak patut memiliki anak. Tidak ada sesuatu pun yang di langit dan di bumi melainkan akan dating kepada Ar-Rahman sebagai hamba. Sesungguhnya Dia menghitung mereka dan membilang dengan bilangan yang benar. Mereka semua akan dating pada hari kiamat seorang diri.” [QS: 19: 88-95]

Dalam Shahih Al-Bukhari, ada hadits yang menyatakan, “Tidak ada yang paling penyabar dari gangguan yang didengarnya daripada Allah. Mereka menjadikan Dirinya mempunyai anak, padahal Dia memberi mereka rizki dan memberi mereka maaf.”

“و لم يولد” Dia tidak diperanakkan. Artinya Dia tidak berasal dari apa pun. Sebab Dia ada sebelum segalanya ada dan sangat mustahil Allah pernah tidak ada. Ayat ini juga seakan sebagai penegas ayat sebelumnya yang mengatakan bahwa segala makhluk butuh kepada-Nya, sedangkan Dia tidak butuh kepada mereka. Maka pada titik ini Allah menyatakan bahwa diri-Nya tidak butuh pada apa pun, sedangkan pada anak itu biasanya membutuhkan pada yang melahirkannya. Sedangkan Allah tidak pernah dilahirkan.

“و لم يكن له كفوا أحد” Tidak ada satu pun yang sepadan dengan-Nya. Maknyanya tidak ada satu pun yang menyamainya dalam apa pun, tidak dalam sifat-Nya, keagungan-Nya, kesucian-Nya, dan sebagainya. “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dan Dia Mahamendengar Mahamelihat.” [QS: 40: 11] Oleh Mujahid, ayat ini ditafsirkan, Dia tidak ada isteri. Hal ini seperti firman Allah Ta’ala, “Dzat yang menciptakan langit dan bumi. Bagaimana ada anak bagi-Nya, sedang Dia tidak beristeri?! Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu.” [QS: 6: 101]

  • Petunjuk Ayat

Di antara petunjuk yang tertera dalam ayat ini ialah:

  • Mengenal Allah Ta’ala beserta asma dan shifat-Nya.
  • Penetapan tauhid dan kenabian.
  • Tidak benarnya nisbat anak kepada Allah Ta’ala.
  • Kewajiban beribadah kepada Allah semata, tidak mensekutukan-Nya dengan apa pun. Karena Dia lah yang berhak diibadahi oleh seluruh makhluk-Nya, bukan selain-Nya.

Wallahua’lam. []

  • Refrensi:
  • Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, oleh Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Darul Hadits Cairo
  • Turjuman Al-Mustafid Pada Tafsir Al-Quran Al-Majid, oleh ‘Abdurrauf bin ‘Ali Al-Jawi Al-Fanshuri, Al-Khizanah Al-Fathaniyyah Kuala Lumpur coppy dari cet. Mathba’ah ‘Uthmaniyah
  • Maroh Labid li Kasyf Ma’na Quran Majid, Abu ‘Abdil Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Bantani, Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah Beirut
  • ‘Umdah At-Tafsir ‘an Al-Hafizh Ibnu Katsir, oleh Ahmad Muhammad Syakir, Darul Wafa’ Cairo
  • At-Tahrir wa At-Tanwir, Muhammad Al-Thahir Ibnu ‘Asyur, Ad-Dar At-Tunisiyyah Tunis
  • Al-Iklil fi Ma’ani At-Tanzil, oleh Mishbah bin Zainal Mushthafa Rembang, Al-Ihsan Surabaya
  • Tafsir Quran Karim, oleh Mahmud Yunus, Mahmud Yunus wa Dzurriyyah Jakarta
  • Tafsir Juz ‘Amma, oleh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Dar Ats-Tsurayya
  • Shafwah At-Tafasir, oleh Muhammad ‘Ali bin Jamil Ash-Shabuni, Dar Al-Quran Al-Karim Beirut
  • An-Nahj Al-Asna fi Syarh Asmaillah Al-Husna, oleh Muhammad Al-Hamud An-Najdi, Maktabah Al-Imam Adz-Dzahabi Kuwait
  • Aisar At-Tafasir li Kalam Al-‘Aliyy Al-Kabir, oleh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Darul Hadits Cairo

Tinggalkan komentar